Perubahan Iklim Global:Jakarta Bisa Tinggal Nama25-Aug-2007 09:58
Last modified: 25/8/07 Sebuah penelitian internasional baru-baru ini memperlihatkan hasil yang cukup mencengangkan. Sepersepuluh penduduk dunia atau sekitar 634 juta orang yang tinggal di dekat laut akan tenggelam ketika es di kutub bumi mencair akibat pemanasan global.Tidak sampai di situ saja, penelitian itu juga memprediksikan, seluruh Jakarta, sebagian Jawa Barat, dan Banten merupakan kawasan yang akan tenggelam di akhir abad ini.
Penelitian ini juga dikuatkan melalui penelitian Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 2007 yang menyebutkan pada tahun 2050 nanti, daerah- daerah di Jakarta seperti Kosambi, Penjaringan, dan Cilincing akan hilang, juga Muara Gembong, Babelan, dan Tarumajaya di Bekasi.
Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH), Rachmat Witoelar, mengamini penelitian itu dan mengaku risau dengan kondisi tersebut. Dia mengatakan, Bandara Soekarno-Hatta dan kawasan Ancol di Jakarta Utara hanya akan tinggal nama alias tenggelam pada tahun 2050.
Selaku pejebat negara, tentu saja Rachmat Witoelar tidak hanya asal omong. Dia mengaku, memiliki data kalau saat ini elevasi muka air laut di Teluk Jakarta sudah naik 61 sentimeter. Penelitian ITB sendiri menyebutkan permukaan air laut Teluk Jakarta sudah naik setinggi 0,8 meter.
Dampak pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim memang telah dan akan membawa dampak yang luas terhadap manusia dan lingkungan. Contoh nyata yang sudah dialami warga Jakarta adalah banjir besar di awal Februari 2007 yang mengakibatkan lebih 50 orang meninggal dunia. Menurut penuturan sejumlah ahli, banjir Februari lalu itu tidak lepas dari pengaruh perubahan iklim global yang saat ini tengah melanda dunia.
Perubahan Iklim
Perubahan iklim mulai dibicarakan sejak awal tahun 1980-an oleh beberapa negara. Meski demikian, baru tahun 1992 di Kenferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi Rio de Jainero, Brasil, keinginan tentang penangangan dampak perubahan iklim itu dibicarakan secara serius.
Perubahan iklim tidak lepas dari campur tangan manusia. Ahli perubahan iklim dari ITB, Armi Susandi menjelaskan, memasuki abad ke-19, manusia telah melakukan perubahan dalam hal teknologi dan gaya hidup. Revolusi industri di Inggris pada awal abad ke-19 merupakan awal sebuah era baru dalam kehidupan manusia, yaitu era industrialisasi. Penggunaan berbagai bahan bakar fosil untuk bahan bakar alat-alat industri dan transportasi telah membuat sebuah perubahan besar pada kondisi iklim dunia.
Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) yaitu CO2, CH4, N2O, SF6, HFC dan PFC akibat aktifitas manusia menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap di atmosfer.
Hal ini menyebabkan fenomena pamanasan global yaitu meningkatnya suhu permukaan bumi secara global. Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim, yaitu perubahan pada unsur-unsur iklim seperti naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya penguapan di udara, berubahnya pola curah hujan, dan tekanan udara yang pada akhirnya akan mengubah pola iklim dunia. Pemanasan global juga telah membuat gunung-gunung es di kedua kutub bumi mencair.
Armi Susandi dalam sebuah makalahnya mengatakan, perubahan iklim ditandai dengan perubahan dua faktor meteorologi penting, yaitu temperatur dan curah hujan, yang kemudian dapat menyebabkan kenaikan permukaan air laut.
Perubahan temperatur ini akan menyebabkan perubahan variabel atmosfer lainnya, yang pada akhirnya akan menyebabkan perubahan curah hujan.
"Perubahan curah hujan yang dimaksud tidaklah mengubah jumlah curah hujan, tapi yang berubah secara drastis adalah distribusinya. Artinya pada musim hujan, suatu daerah akan mengalami hujan lebih banyak dan pada musim kemarau akan mengalami hujan yang lebih sedikit," kata Armi.
Kondisi ini, lanjut Armi, akan menimbulkan banyak permasalahan bagi kehidupan manusia. Dengan kondisi tersebut, pada musim hujan potensi terjadinya bencana seperti banjir, longsor, dan penyebaran penyakit melalui vektor dapat meningkat.
Sedangkan, pada musim kemarau bencana akan terus berlanjut seperti dengan adanya kekeringan sehingga akan menyebabkan gagal panen dan menimbulkan berbagai macam penyakit seperti penyakit kulit dan gangguan pencernaan yang dapat berujung pada kematian.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan kenaikan suhu global akan berkisar antara 1,6-4,2 derajat Celsius pada tahun 2050 atau 2070. Di Indonesia sendiri, akibat perubahan iklim akan membuat suhu meningkat menjadi 1,6-3,0 derajat Celcius pada 2050-2070 berdasarkan perkiraaan Canadian Climate Change Model dan United Kingdom Meteorological Office. Sedangkan menurut perkiraan dua lembaga Amerika Serikat, yaitu Global Fluid Dynamic dan Goddart International Space Study, suhu Indonesia akan meningkat 2 hingga 4,2 derajat Celcius.
Deputi III Kementerian Lingkungan Hidup, Masnellyarti Hilman mengatakan, Jakarta sudah mengalami dampak perubahan iklim. Hal ini terlihat dari suhu udara di Jakarta sempat naik menjadi 37 derajat Celcius padahal dalam kondisi normal suhu udara di Ibukota hanya berkisar 30-33 derajat Celcius.
Tata Ruang
Sebagai kota yang terletak di pinggir pantai, Jakarta sangat rentan terkena dampak perubahan iklim. Ironisnya, perencanaan tata ruang Jakarta dari tahun ke tahun justru semakin tidak ramah lingkungan.
Lihat saja saat ini di Jakarta setiap hari lalu lalang sekitar 7,5 juta unit kendaraan, yang semuanya mengeluarkan gas karbon yang mencemarkan udara dan berkontribusi memanaskan bumi.
Di sisi lain, dari waktu ke waktu luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang berkontribusi menyerap karbon semakin berkurang akibat pembangunan. Daerah resapan air juga mengalami hal yang sama, hilang dan diganti dengan perumahan, apartemen, dan gedung-gedung megah.
Mengantisipasi dampak perubahan iklim, seharusnya Jakarta bersiap diri. Mumpung sebentar lagi Jakarta punya pemimpin baru, pembenahan menyeluruh terhadap tata ruang dengan memasukkan unsur perubahakan iklim ke dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta dan harus segera dilakukan.
Sebagai warga kota, kita tentu tidak mau Jakarta 40 tahun lagi adalah kota tanpa Ancol, Cilincing, Muara Angke, dan Kepulauan Seribu. Kita juga tidak mau, Indonesia di akhir abad ini adalah Indonesia tanpa Jakarta seperti skenario yang diprediksi para ahli internasional.
Di Amerika Serikat, seperti diberitakan Newsweek (edisi 16-23 April 2007), sebagian besar warganya yakni 83 persen menganggap pemanasan global dan perubahan iklim adalah persoalan yang sangat serius.
Sebanyak 63 persen warga AS menilai negara mereka sedang dalam bahaya lingkungan dan sudah menyamakan dengan bahaya teroris.
Jika AS saja yang memiliki hampir semua sumber daya untuk menghadapi perubahan iklim sudah menyadari dan melakukan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi, Indonesia khususnya Jakarta yang justru memiliki keterbatasan baik dana maupun sumber daya manusia harusnya menyadari dan melakukan upaya lebih dini untuk mencegah dan menanggulangi dampak perubahan iklim.
Masyarakat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus disadarkan bahwa suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, kota ini akan mengalami dampak perubahan iklim. Bahaya sudah di depan mata, kenapa kita masih diam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar